Wakaf alquran, Ilmu itu Cahaya, Bodoh itu Bahaya – Imam As-Syafi’i mengobservasi peristiwa keagamaan di masyarakat yang membawa dampak berbahaya. Menurut Imam As-Syafi’i, masyarakat berada dalam situasi berisiko ketika mereka menjadikan ulama yang korup dan individu yang tidak berpengetahuan sebagai pemimpin utama mereka.
Imam As-Syafi’i berpendapat bahwa pemimpin yang paling buruk bagi masyarakat adalah ulama yang korup dan orang bodoh yang berpura-pura saleh, karena keduanya tidak akan mampu membimbing dan mendidik masyarakat menuju kebaikan dunia dan akhirat. Imam As-Syafi’i menyebut ulama yang korup dan tidak beradab sebagai bencana bagi masyarakat.
Namun, menurut Imam As-Syafi’i, yang lebih berbahaya dari ulama yang korup adalah orang bodoh yang berpura-pura saleh. Bagaimana masyarakat bisa maju ketika mereka menjadikan individu bodoh, meskipun saleh dan zuhud, sebagai pemimpin dan teladan? Imam As-Syafi’i menyebut kedua pemimpin yang merusak tersebut dalam syairnya sebagai berikut:
“Kerusakan besar (dilakukan oleh) ulama yang tidak beradab Lebih merusak dari itu (dilakukan oleh) orang bodoh yang berpura-pura saleh
Dua individu ini menjadi bencana besar di dunia
Bagi mereka yang menjadikan keduanya sebagai panutan dalam beragama.”
(Diwan Al-Imam As-Syafi’i, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 1996 M], halaman 86).
Masyarakat umumnya akan meniru ulama yang menjadi pemimpin dan teladan mereka. Jika mereka memiliki ulama yang baik, masyarakat akan beruntung.
Namun, jika mereka menjadikan ulama yang melampaui batas dan tidak beradab, maka masyarakatlah yang akan menderita kerugian. Yang lebih fatal daripada ulama yang korup dan tidak beradab adalah ketika masyarakat menjadikan individu bodoh sebagai pemimpin dan teladan beragama mereka hanya karena melihat kesalehan dan kezuhudan mereka.
Sayyid Abdullah bin Alwi Al-Haddad menjelaskan lebih lanjut mengenai kerusakan yang ditimbulkan oleh individu bodoh yang dijadikan teladan, pemimpin, atau ulama. Hal ini sederhana, individu bodoh yang dijadikan ulama tidak tahu apakah apa yang mereka lakukan berada dalam jalur ketaatan atau kesesatan. Mereka berjalan dalam kegelapan, kemudian diangkat menjadi ustadz, dai, muballigh, atau ulama.
“Individu bodoh terjerumus dalam pengabaian ketaatan dan melakukan perbuatan dosa, baik dengan sukarela maupun tidak. Mereka tidak mengetahui perintah Allah mengenai ketaatan yang harus dilakukan dan larangan Allah terhadap perbuatan dosa yang harus dihindari. Seseorang tidak akan keluar dari kegelapan kebodohan kecuali dengan cahaya ilmu,”
(Sayyid Abdullah bin Alwi Al-Haddad, Risalatul Mudzakarah, Hamisy Syarah Ad-Dakwatut Tammah, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa tahun], halaman 72).
Sebenarnya, individu bodoh lebih banyak membawa kerusakan bagi kehidupan beragama, seperti yang dijelaskan oleh Syekh Abdul Qadir Al-Jailani:
“Orang yang menyembah Allah dalam kebodohan lebih sering membawa kerusakan daripada membawa manfaat,” (Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, Al-Fathur Rabbani wal Faidhur Rahmani, [Beirut, Darul Fikr: 2005 M/1425 H-1426 H], halaman 288).
Jika memang mereka lebih sering dan lebih banyak membawa kerusakan, bagaimana masyarakat bisa menjadikan individu bodoh sebagai ustadz, ulama, atau pemimpin mereka? Padahal agama telah memberikan panduan yang dijaga oleh para penjaga ilmu yang berdedikasi dan terampil.
Imam Syafi’i ingin menyampaikan bahwa pemimpin dalam agama harus memiliki pengetahuan dan akhlak yang baik. Pengetahuan saja tidaklah cukup. Kesalehan saja juga tidaklah cukup, terlebih jika hanya menjadi busana atau ucapan berbahasa Arab semata. Wallahu a’lam.
Lihat Rekomendasi : Percetakan Alquran